He breathes life to my dreams

deandra
4 min readJul 10, 2021

Di usia sepuluh, aku ingin menjadi arsitek. Alasannya sederhana, karena aku suka main The Sims. Aku suka membuat rumah, men-design bangunan, menjalankan kehidupan di game itu.

Di usia tiga belas, aku ingin menjadi songwriter, seperti Taylor Swift. Semua lagu, lirik, dan perjalanan hidupnya yang tertulis rapi dalam setiap album muskinya bisa membuat semua gadis feel related dengan lagu-lagunya. Aku ingin menjadi sepertinya, but Indonesian version.

Di usia enam belas, aku ingin kuliah di UGM, jurusan farmasi. Pada tahun itu, jika orang bertanya, apa cita-citaku, aku tidak bisa menjawab. Kenapa aku ingin masuk kuliah jurusan farmasi, aku tidak bisa menjawab. Kenapa aku memilih UGM, ya karena aku suka dengan Jogjakarta. Tapi selebihnya, pertanyaan-pertanyaan serius, mungkin aku hanya menjawab dengan senyuman dan candaan.

Di usia delapan belas, ternyata aku diterima di Universitas Airlangga, jurusan gizi. It’s also one of the most prestigious universities in Indonesia. I was very grateful. But I was still who I had been at the age of sixteen. I still wondered what I wanted to be, aku masih tidak tau harus berjalan ke arah mana sehingga saat-saat kuliah aku hanya berjalan bersama kemana angin membawaku. Aku seperti tidak punya pendirian.

Di usia dua puluh satu, aku menemukan sesuatu yang bernama idealisme, sesuatu yang belum pernah aku temui sebelumnya, sesuatu yang asing tapi addictive dan menguatkanku. The idea of it membuatku terbang tinggi, merasakan kebahagiaan yang cukup besar, dan membuatku bisa menata masa depan, membuatku memiliki cita-cita yang sebelumnya sudah lama hilang di kamus kehidupanku. Aku ingin sebisa mungkin hidup damai dengan idealisme itu, mewujudkan idealisme itu dengan sebaik mungkin, mewujudkan semua goals yang aku buat untuk masa depanku.

Siapa sangka di usia dua puluh dua, aku menemukan seseorang yang memiliki idealisme yang sama, bahkan mendukung dan membantuku memenuhi semua mimpi untuk masa depanku itu. Dengan idealisme yang begitu tinggi dan ada satu orang yang siap mendukungku, hidupku rasanya sungguh lengkap.

But life works in such a strange way. It does not work the way I want it to.

At the age of twenty three, aku kehilangan idealisme itu karena realita hidup menyapaku. “Hai, inilah kehidupan yang seharusnya kamu jalani jika kamu ingin bertahan di dunia ini. Dunia ini keras, sampai kapan kamu mau bergantung dengan idealism mu itu?” The thought of losing idealism beserta dengan seseorang yang menemaniku hidup damai dengan idealisme itu seperti sesuatu yang menyakitkan. Tapi aku tau itu akan lebih menyakitkan jika aku terus hidup damai dengan idealism ku dan melupakan realita saat ini.

Ternyata kehilangan itu tidak membuatku menjadi lemah, justru membukakan pada beberapa pintu-pintu kesempatan dan kebahagiaan yang tidak kalah kerennya dengan idealism itu. I could help people, I could serve people, I could develop creativity which I never thought existed inside of me. Mungkin itu adalah sebuah perjalanan of self-discovery, dan aku menemukan idealism ku yang lain. Siapa sangka ternyata dalam kamus kehidupanku aku bisa membuat beberapa idealisme, bahkan aku punya contoh alternatifnya jika idealisme nomer 1 tidak tercapai, aku bisa beralih ke nomer 2 dan seterusnya. Apakah ini yang namanya pendewasaan? Karena aku sudah sadar bahwa tidak semuanya yang kamu rencanakan bisa berjalan dengan baik, so back-up is good, right.

Di usia dua puluh dua, idealisme nomer sudah lama 1 gagal. Di usia dua puluh tiga akhir, nomer 2 pun gagal. Tenang, masih ada nomer 2, 3, 4, dan seterusnya. Dengan sabar dan telaten, aku berusaha untuk memberikan nafas untuk idealismeku satu per satu. Susah, pasti, tapi aku bisa mencapai idealisme nomer 3 di usia twenty four.

What have I learned so far?

That one personㅡyang berdiri tegak di titik idealisme nomer 1 ku, yang aku kira akan pergi karena idealisme nomer 1 ku telah gagalㅡternyata masih berdiri tegak dengan senyum sumringahnya di titik idealisme yang berhasil aku capai. Aku tidak pernah berpikir ini adalah hal yang besar tapi perjalananku sampai ke titik ini ternyata sudah banyak mengubah cara pikirku tentang dunia ini, tentang mimpi-mimpiku, tentang bagaimana aku harus menghadapi permasalahan dan rencana-rencana yang tidak sesuai dengan goalsku. Dari semuanya, aku meyakinkan diriku bahwa semuanya itu tidak apa-apa. Justru dengan adanya kegagalan di setiap prosesku, mataku bisa semakin terbuka akan hal-hal indah dan sederhana di dunia ini. Dengan adanya dia aku disadarkan bahwa, kamu tidak perlu memiliki mimpi yang besar dan mewah untuk didukung, untuk dihargai.

That person… orang itu seperti membisikkan pesan kepadaku kalau di balik semua pintu yang tertutup, ada seseorang, sesuatu, rumah yang membutuhkan kita untuk hadir di tempat itu kelak. Sebuah rumah dengan sajian kesederhanaannya yang membutuhkan kehadiran kita untuk melengkapi dan menghidupkan rumah itu. Orang yang sama juga yang selalu berada di sebelahku, menjagaku, membimbingku, mendukungku untuk terus bermimpi begitu tinggi tapi juga menyadarkanku untuk tetap membantuku berjalan, menapaki tanah tanpa jauh melayang. Orang yang sama yang membantuku melihat kebahagiaan di hal-hal sederhana ketika selama ini yang hanya bisa kulihat adalah gold and glitters.

Orang yang sama yang menyadarkanku bahwa kebahagiaan itu tidak memiliki standard, kebahagiaan itu bisa terlihat dari hal-hal kecil. Emang kebahagiaan ada standardnya? Kalau aku masih berpikir kebahagiaan ada standardnya dan aku perlu menurunkan standard kebahagiaanku karena dia, mungkin aku perlu mengevaluasi diri; bisa aja yang selama ini ada di pikiranku tentang kebahagiaan adalah sekedar hal yang aku anggap materialistis.

Perjalanan hidupku tidak hanya tentang akuㅡjuga tentang orang lain. Aku tidak hidup sendiri di dunia ini. Begitu banyak orang yang menemaniku selama perjalanan dua puluh empat tahun ini. Akan ada orang yang datang dan pergi tapi aku tidak akan melupakannya ketika aku menemukannya bersama idealism dan ketika aku mengira dia akan menghilang ketika aku tidak hidup damai dengan idealismeku. Tapi bertahun-tahun aku kehilangan idealismeku itu dan dia masih di sini, di baris paling depan yang selalu mendukungku untuk mencapai mimpiku.

Oleh karena itu, terima kasih.

--

--

deandra

Writing whatever, wherever, and whoever stays in mind.